Tampilkan postingan dengan label Serial Cinta Abi Wafa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Serial Cinta Abi Wafa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Maret 2014

002 Haru Biru Abi Baru, Kami Namakan Engkau “Wafa Tsabitah ‘Ulya” Sang Putri Subuh


Sambil menunggu tenaga pendamping Program kerjasama Kemitraan Di BPKP Povinsi Riau, saya menuliskan lanjutan Haru biru Abi Baru ini. Setelah ditinggal selama 3 hari akhirnya malam tadi saya bersua kembali dengan dengan sang Putri Subuh (Fajr’s Princess). Saya tanyakan Umminya rewel tidak? Katanya tidak Cuma bangun kalau lapar lalu menyusu atau basah karena pipis atau BAB setelah itu dia akan tidur kembali atau beraktivitas berupaya mengeluarkan tangan dan kakinya dari pakaian bayinya. Meninju ke udara dan mengeluarkan suara berdesis serta membuka matanya yang sipit. Matanya sudah seperti bayi umur satu bulanan, bahkan sudah bisa diaja ngomong. Tapi kami tidak biasakan untuk di pegang agar tidak manja dan tidak mandiri nanti. Habis dibersihkan atau di susui diletakkan saja pada tempatnya. Dia akan bermain sendiri dan sesekali memekik riang. Subhanallah…. Anak itu memang begitu imut dan comel Alhamdulillah.

Tadi malam seperti kata umminya dia Caper (cari perhatian sama Abinya). Sebentar-sebentar pipis, sebentar-sebentar BAB. Saya kan dah ngantuk sekali, sampai di bangkinang sekitar pukul 20.30 dia yang biasanya sudah tidur bangun sampai jam 22.30 barulah setelah di susui dia tidur baru bangun jam 04.30 subuh. Membangunkan Abi dan Umminya Shalat Subuh. Benar-benar Fajr’s Princess. Hari ini agendanya berangkat ke Rumah Nenek di Pihak Ummi tepat setelah Subuh karena Abinya harus ke Pekanbaru lagi sekitar pukul 07.00 untuk melanjutkan tugas dakwah yang masih tertunda.

Setelah diantar ke rumah neneknya Di Padang tarap Air Tiris, sang Putri Subuh harus ditinggal lagi dalam waktu yang saya juga tidak tahu. Tergantung waktu luang dari kesibukanlah. Wah jadi cerita kemana-mana, subtansinya jadi melenceng.

Begini saja, lama sebelum menikah saya sudah membuat rancangan cita-cita masa depan dengan sangat detil sekali. Kapan menikah kalau punya anak maunya berapa (maunya sih sebanyak-banyaknya, tapi saya memilih 1 orang anak yang bernilai sejuta orang dari pada sejuta anak yang nilainya Cuma satu orang).  Saya sudah rancang nama mereka. Akhirnya saya punya stok nama anak 5. Dua untuk laki-laki dan tiga untuk anak perempuan. Ketika kelahiran anak Adik saya yang nomor dua satu nama laki-laki sudah diambil (Faris Syauqi hanifa). Jadi sisa satu nama lagi untuk laki-laki dan tiga nama untuk anak perempuan.

Akhirnya setelah kesepakatan dengan Umminya kami menamakan sang Putri Subuh dengan nama: “Wafa Tsabitah ‘Ulya.” (Wanita yang mendapatkan kemuliaan dengan bermodalkan kekokohan kesetiaan).

Latarbelakang nama ini dari buku: “Cinta di Rumah Hasan al Banna” Ust. Hasan Al Banna biasa di panggil dengan Abi Wafa. Anak pertamanya Wafa yang akhirnya menikah dengan ust. Said Ramadhan yang In sha Allah Syahid di Suriah. Wafa ini selalu menjadi seperti asisten dan sekretaris mendampingi Ust. Hasan Al Banna, mempersiapkan persiapan ust. Hasan Al Banna. Sehingga pernah anak beliau yang lain yaitu Ust. Syaiful Islam Al Banna Protes, ust. Hasan Al Banna menyatakan,” Dia itu kakakmu lebih tua darimu seorang wanita yang lebih teliti dari dirimu.”

Intinya saya juga sedang mempersiapkan sang putri Subuh, tak jauh beda dengan Wafa anaknya ust.  Hasan Al Banna. Semoga Allah memberkahi niat mulia ini. Sampai di sini edisi Haru Biru Abi Baru, semoga bersua dalam topik dan tema yang berbeda.

Ruang Tunggu BPKP Propinsi Riau, Kamis, 09 Januari 2014  09.35 WIB




001 Haru Biru Rindu Abi Baru: Anakku Engkau Adalah Si Putri Subuh (Fajr’s Princess)

Jarum jam terus berdetak detik demi detik. Malam sudah larut, pukul 00.20. Hatiku rindu… Hatiku biru mengenangkan akhwat kecilku yang berjarak lebih dari 60 km saat sekarang ini dengan ku. Aku di bumi Bertuah sedang mempersiapkan agenda besar peran serta dakwah dalam musyarakah di sektor ketiga. Dia di sana bersama umminya di pelataran Kota beriman Bangkinang.

Ku teringat sepenggal kalimat dari Abaku:”Kalau kau ingin merasakan sayangnya seorang Ayah, maka tunggulah nanti kalau sudah punya anak.” Kalimat ini ditujukan kepadaku di sela-sela debat dan diskusi sengit kami saat ku baru mulai tarbiyah dengan segala idealisme tekstualnya yang saklek.

Berpisah dengan istri bagiku biasa saja. Bahkan ku sering menyatakan menangis berairmata darahpun (kejam juga yee…) aku akan tetap berangkat. Berpisah dengan anak rindunya menyusup dengan lembut, sangat lembut. Maka wajarlah seorang manusia dijadikan indah terhadap anak lebih lembut dari kerinduan pada seorang istri. Tapi perjuangan harus berjalan terus.

Entah mengapa ku ingin menuliskan kerinduan ini saat ini, karena dia adalah Putri Subuh. Dia dilahirkan Ummi yang kuat. Kuat menahan penderitaan sakit persalinan. Alhamdulillah saya kuat mengikutinya detik-demi detik. Termasuk persalinan yang berat kata bidannya. Sakitnya dari jam 5 subuh Hari sabtu 04 Januari 2014 sampai dengan pukul 03.37 hari Ahad 05 Januari 2014. Umminya sampai gemetaran menahan untuk tidak mengejan dari pukul 22.00 WIB sampai pukul 03.00 karena ketubannya belum pecah. Dia memintaku untuk tilawah di dekatnya seperti biasa ba’da subuh kami lakukan, membetulkan tahsinku. Tapi malam itu tidak ada koreksian. (Tak setiap pagi juga sih… karena saya sering berangkat sebelum subuh malah…. Baru pulang ba’da Isya). Dia selalu mengikuti arahanku untuk istigfar dan takbir (sesekali ditingkahi pertanyaannya, “ Suster, Kapan saya boleh mengejan?”).

Setiap sejam sekali kondisi Putri Subuh (Fajr’s Princess dicek), dia masih tetap kuat. Jantungnya berdetak mantap. Memang saat USG pertama dokter sudah bilang jantungnya kuat sekali (bertolak belakang dengan kondisi Abinya). Bahkan ketika masa kehamilannya 7 bulan dia sudah menendang dengan sangat kuat. Umminya kadang suka terperanjat dibuatnya. Pada usia Kehamilan 8 bulan kalau tidak diusap dan diajak cerita mengenai pengalaman Abinya hari itu, si putri Subuh akan menendang dengan sangat kuat. Dia baru berhenti ketika aku mengelusnya lembut dan mulai bercerita.  

Begitulah kedekatan kami dimulai. Umminya bermohon kepada Allah SWT semoga anak pertama laki-laki. Lalu sayapun mengatakan,”Mari kita adu doa kita di hadapan Allah SWT, saya ingin dapat anak perempun, biar bisa makin lembut, penyabar, penyayang dan punya romantisme cinta.” (Karena Umminya bilang saya kurang romantis…. Waktu si Doi minta dibuatkan surat cinta, saya jadi kelimpungan…. Saya tulis lalu print…. Si Doi bilang,”Bang ini bukan surat cinta, ini mah mirip naskah khutbah Jum’at….” [Waduh…. Tega banget….habis itu saya melahap habis contoh surat cinta dengan bantuan mbah goggle, tapi sampai saat ini saya juga belum bisa buat surat cinta… nasib kurang berbakat……”].

Akhirnya menjelang USG terakhir saya bermimpi berdebat dengan seorang Akhwat cilik memakai jilbab panjang. Dia mengajukan berbagai argumentasi mempertahankan pendapatnya. Saya sudah lupa topik yang kami bahas…. Besok sorenya Umminya USG sendiri [bareng bundaku lho maklum banyak kerjaan konsep program belum selesai] ketahuannya akhwat.

Akhirnya dia lahir di waktu Fajar menyingsing, membawa banyak harapan baru. Semangat baru. Ketika masih dalam kandungan begitu lasak, setelah di luar dia begitu kalem. Nangisnya sih kuat juga… tapi Cuma kalau lapar atau basah saja. Jadi kita bisa istirahat dengan tenang. Entahlah besok-besok. Kalau Sukarno adalah Putra sang fajar…. Maka engaku akhwat kecilku adalah Putriku yang lahir di waktu fajar (Putri Subuh).

Bersambung ke episode 002: In Sha Allah!
Selasa, 07 Januari 01.04 pagi.
Ruang Kantor Main Office Qolbu Re-engineering (QR) Foundation (Ruang Tamu Ust. Sofyan siroj He…..he….)