Langsung ke konten utama

5 Cara Mempersempit Jurang Digital Antara Anak dan Orang Tua



Jelas ada jurang atau kesenjangan digital antara kita (orang tua/guru) dan anak. Anak-anak kita adalah digital native, lahir ketika teknologi computer dan internet sudah ada. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak lepas dari teknologi tersebut. Kita sendiri adalah generasi yang menikmati teknologi saat kita telah dewasa, bahkan berumur. Karena itu, layaknya “pendatang”, kita “digital immigrant” pasti membutuhkan penyesuaian dengan lingkungan baru.  Bagaimana cara memperkecil kesenjangan tersebut? Tidak bias tidak, kita perlu memahami karakteristik digital native. Pemahaman mengenai karakteristik ini akan membantu kita untuk menghadapai tantangan-tantangan berikut:


1.     Teknologi Menghapus Batas
Kita perlu menyadari bahwa teknologi menghapus batas dan menekankan batas-batas tersebut kepada anak dan remaja. Pada situasi tertentu, anak dan remaja tidak bisa lagi membedakan batas-batas itu. Misalnya kebiasaan bermain game di rumah yang tidak dibatasi berujung kebiasaan bermain game di kelas menggunakan handphone.

2.     Anak Lebih banyak Tahu
Anak-anak kita lahir dan tumbuh bersama teknologi. Mereka lebih piawai mengoperasikan handphone atau aktivitas online menyenangkan di internet. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka tahu cara menghindar dari pantauan orang tua saat berinternet. Maka, kita perlu tahu trik-trik dan memahami bahasa isyarat  yang digunakan anak-anak saat berinteraksi di internet.

3.     Libatkan Diri Dalam Kehidupan Online  Anak
Kebanyakan orangtua tidak punya aturan jelas mengenai aktivitas berinternet di rumah. Al hasil anak-anak online tanpa pengawasan orangtua.  Membuka sembarang situs dan berkomunikasi dengan orang  yang tak dikenal. Sudah saatnya orang tua membangun komunikasi dengan anak mengenai kebutuhan mereka berinternet, aktivitas dan teman-teman mereka di dunia maya. Gunakan pertanyaan yang terbuka, tidak bersifat investigatif. Melalui komunikasi ini, anda dapat mengarahkan anak-anak ke situs-situs yang edukatif, menghibur dan cocok untuk usia mereka.

4.     Tahu Kapan Harus Bertindak
Kita perlu tahu kapan harus mengatakan “cukup” kepada anak. Ketika anak mulai susah beranjak dari layar computer untuk mengerjakan PR, atau memilih bermain game di rumah ketimbang bermain di luar bersama teman-temannya, tandanya anda harus bertindak.

5.     Era Prosumer
Di era user generated content, pengguna internet berperan sebagai konsumen sekaligus produsen. Setiap orang dapat memajang dan menerima video, foto, bahkan menghadirkan identitas palsu yang kerap menurut mereka adalah identitas ideal. Di sinilah kadang “batas-batas” menjadi kabur. Kita dapat membekali anak untuk berpikir kritis tentang aktivitas mereka di internet: apa yang mereka baca, bagi, dan di lihat di dunia maya.

(Disarikan dari “Mendampingi Anak dan Remaja di Era Digital”  Oleh YPMA 2011)

Pasted form: Majalah UMMI Spesial No.1 Tahun 2014, Hal 36


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemuliaan Ibu dalam Kosa Kata Al Qur’an[1]

Kemuliaan Ibu dalam Kosa Kata Al Qur’an [1] Sulthan Hadi   “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-Bapaknya (al walidain; ibunya (al umm) yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (QS. Luqman: 14) Ibu, dialah sumber kasih sayang; mengasuh dan memberi tanpa batas. Dialah prajurit malam yang selalu berjaga dan terjaga. Menemani ketidakberdayaan kita. Dia selalu mendahulukan anaknya dari dirinya sendiri, mencintai tanpa menuntut balas. Ibu, sebuah kata yang jujur nan kuat, diucapkan semua makhluk hidup dalam bahasanya masing-masing. Dengan kata ‘ibu’ para makhluk itu mendapatkan kasih sayang, ketulusan hati, kehangatan, pengorbanan, cinta yang agung, yang dicipta dan ditumbuhkan Allah dalam  diri semua  ibu terhadap anak-anaknya. Karena itu, Allah swt berwasiat kepada manusia untuk taat kepadanya, seperti juga Rasul-Nya telah berpesan agar kita senantiasa berbakti kepadanya.

Menjadi Pemakmur Masjid Menjadi Keluarga Allah di Bumi

"Ada lebih dari 700 ribu Masjid di Indonesia, kami bermimpi 1 persen saja yang dikelola dengan semangat seperti di jogokariyan maka In sha Allah Indonesia ini akan menjadi Rahmatan lil 'alamin, "Harap Ust Muhammad Jasit Ketua Takmir Masjid Jogokariyan Jogja karta. Masjid Jogokariyan dimulai dari mimpi . Membangun masjid tidak harus dimulai dari bangunan. Memulai peradaban tidak harus dimulai dengan bangunan fisik. Peradaban itu di bangun dari bangunan jiwa. Mendidik mental manusia. Mendidik sumberdaya manusia. Itulah inti dari semangat masji jogokariyan. Saat ini masjid jogokariyan bisa beraktivitas tanpa ada infaq dari jamaahnya kalau mau. Masjid ini punya penginapan, travel, dan sayap bisnis lainnya. Pengeluaran perbulannya bisa sampai dua ratusan juta tapi pemasukannya juga bisa sampai milyaran perbulan. Masjid ini kecil saja. Tapi semua muat di sana, semua pergerakan Islam bisa duduk manis di sini. "Kami berdiri diatas semua golongan, kalau ikhwah d...

“CUCUKU YANG MENGAJARIKU PELAJARAN”

Ada sebuah kisah yang menarik dapat kita jadikan contoh bagaimana seorang kakek menuliskan guratan irama jiwa seorang cucunya yang dibesarkan dalam naungan tarbiyah Rabbani. DR. Mahmud Jami’ dalam bukunya yang berjudul :” Wa’raftu al-Ikhwan “ ( Ikhwanul Muslimin yang Saya Kenal terbitan Pustaka Al-Kautsar) menuliskan sebagai berikut : “CUCUKU YANG MENGAJARIKU PELAJARAN” Cucuku, Thariq Jami’ baru berusia dua belas tahun, kelas dua I’dadiyah (2SMP) dan dilahirkan di Inggris. Dia selalu bolak-balik Mesir-Inggris setiap datang musim panas untuk menghadiri muktamar-muktamar Ilmiah di luar Mesir. Pada Minggu yang lalu, dia menghadapi ujian mengarang. Judul yang disodorkan dalam soal itu adalah siswa disuruh mengungkapkan kecintaannya kepada negerinya dan keindahan negerinya. Maka dia menulis dengan mengatakan :” saya tidak mempunyai kata-kata untuk mengungkapkan keindahan negeriku. Negeri ini berada pada kondisi yang buruk. Setiap kali saya berusaha untuk merasakan keindahannya, sa...