Jarum jam terus berdetak detik
demi detik. Malam sudah larut, pukul 00.20. Hatiku rindu… Hatiku biru
mengenangkan akhwat kecilku yang berjarak lebih dari 60 km saat sekarang ini
dengan ku. Aku di bumi Bertuah sedang mempersiapkan agenda besar peran serta
dakwah dalam musyarakah di sektor ketiga. Dia di sana bersama umminya di
pelataran Kota beriman Bangkinang.
Ku teringat sepenggal kalimat
dari Abaku:”Kalau kau ingin merasakan sayangnya seorang Ayah, maka tunggulah
nanti kalau sudah punya anak.” Kalimat ini ditujukan kepadaku di sela-sela
debat dan diskusi sengit kami saat ku baru mulai tarbiyah dengan segala
idealisme tekstualnya yang saklek.
Berpisah dengan istri bagiku
biasa saja. Bahkan ku sering menyatakan menangis berairmata darahpun (kejam
juga yee…) aku akan tetap berangkat. Berpisah dengan anak rindunya menyusup
dengan lembut, sangat lembut. Maka wajarlah seorang manusia dijadikan indah
terhadap anak lebih lembut dari kerinduan pada seorang istri. Tapi perjuangan
harus berjalan terus.
Entah mengapa ku ingin
menuliskan kerinduan ini saat ini, karena dia adalah Putri Subuh. Dia
dilahirkan Ummi yang kuat. Kuat menahan penderitaan sakit persalinan.
Alhamdulillah saya kuat mengikutinya detik-demi detik. Termasuk persalinan yang
berat kata bidannya. Sakitnya dari jam 5 subuh Hari sabtu 04 Januari 2014
sampai dengan pukul 03.37 hari Ahad 05 Januari 2014. Umminya sampai gemetaran
menahan untuk tidak mengejan dari pukul 22.00 WIB sampai pukul 03.00 karena
ketubannya belum pecah. Dia memintaku untuk tilawah di dekatnya seperti biasa
ba’da subuh kami lakukan, membetulkan tahsinku. Tapi malam itu tidak ada
koreksian. (Tak setiap pagi juga sih… karena saya sering berangkat sebelum subuh
malah…. Baru pulang ba’da Isya). Dia selalu mengikuti arahanku untuk istigfar
dan takbir (sesekali ditingkahi pertanyaannya, “ Suster, Kapan saya boleh
mengejan?”).
Setiap sejam sekali kondisi
Putri Subuh (Fajr’s Princess dicek), dia masih tetap kuat. Jantungnya berdetak
mantap. Memang saat USG pertama dokter sudah bilang jantungnya kuat sekali
(bertolak belakang dengan kondisi Abinya). Bahkan ketika masa kehamilannya 7
bulan dia sudah menendang dengan sangat kuat. Umminya kadang suka terperanjat
dibuatnya. Pada usia Kehamilan 8 bulan kalau tidak diusap dan diajak cerita
mengenai pengalaman Abinya hari itu, si putri Subuh akan menendang dengan
sangat kuat. Dia baru berhenti ketika aku mengelusnya lembut dan mulai
bercerita.
Begitulah kedekatan kami dimulai.
Umminya bermohon kepada Allah SWT semoga anak pertama laki-laki. Lalu sayapun
mengatakan,”Mari kita adu doa kita di hadapan Allah SWT, saya ingin dapat anak
perempun, biar bisa makin lembut, penyabar, penyayang dan punya romantisme
cinta.” (Karena Umminya bilang saya kurang romantis…. Waktu si Doi minta
dibuatkan surat cinta, saya jadi kelimpungan…. Saya tulis lalu print…. Si Doi
bilang,”Bang ini bukan surat cinta, ini mah mirip naskah khutbah Jum’at….”
[Waduh…. Tega banget….habis itu saya melahap habis contoh surat cinta dengan
bantuan mbah goggle, tapi sampai saat ini saya juga belum bisa buat surat
cinta… nasib kurang berbakat……”].
Akhirnya menjelang USG terakhir
saya bermimpi berdebat dengan seorang Akhwat cilik memakai jilbab panjang. Dia
mengajukan berbagai argumentasi mempertahankan pendapatnya. Saya sudah lupa
topik yang kami bahas…. Besok sorenya Umminya USG sendiri [bareng bundaku lho
maklum banyak kerjaan konsep program belum selesai] ketahuannya akhwat.
Akhirnya dia lahir di waktu
Fajar menyingsing, membawa banyak harapan baru. Semangat baru. Ketika masih
dalam kandungan begitu lasak, setelah di luar dia begitu kalem. Nangisnya sih
kuat juga… tapi Cuma kalau lapar atau basah saja. Jadi kita bisa istirahat
dengan tenang. Entahlah besok-besok. Kalau Sukarno adalah Putra sang fajar….
Maka engaku akhwat kecilku adalah Putriku yang lahir di waktu fajar (Putri
Subuh).
Bersambung ke episode 002: In
Sha Allah!
Selasa, 07 Januari 01.04 pagi.
Ruang Kantor Main Office Qolbu Re-engineering
(QR) Foundation (Ruang Tamu Ust. Sofyan siroj He…..he….)
Komentar
Posting Komentar