Jumat, 10 Mei 2013

Hati-Hati Kalo Ngomporin Orang Menikah




Islamedia -  Di sebuah forum, pembicara mengulas topik tentang perlunya menyegerakan menikah. Peserta forum itu terdiri dari bujang-bujang yang beberapa di antara mereka sudah masuk usia layak menikah dan punya kesiapan finansial yang memadai. Sindiran-sindiran pembicara cukup menusuk hingga membuat para peserta mesem-mesem. Di usia yang sudah harusnya menikah, kalau tidak disegerakan, memang membawa kekhawatiran kalau-kalau para bujang itu malah pacaran, atau bermaksiat yang lebih parah lagi. Jadi “pengomporan” yang dilakukan oleh pembicara itu wajar adanya.

Tapi sayang, di tengah peserta ada beberapa remaja usia SMA. Mereka ikut tertawa, ikut mesem-mesem, ikut mengangguk-angguk mendengarkan materi bersama peserta yang lain. Mereka setuju, pacaran harus dijauhi. Dan penggantinya, menikah harus disegerakan.

Kemudian pulanglah remaja usia SMA itu dan bertemu kedua orang tuanya. Berbekal materi-materi “kompor” yang didapat tadi, remaja itu memohon kepada orang tuanya agar segera dinikahkan. Nah lho…

Akhirnya orang tuanya cuma bisa mengelus dada dan keheranan dengan aktifitas pengajian si anak. “Pengajian macam apa ini?” Pikir mereka. Dan dari mulut si ibu, terlontar kata-kata: “Memang, kalau anak sudah ikut pengajian itu, nggak lama mereka akan minta nikah.” Maklum, si ibu sudah mendapati beberapa anak remaja tanggung ikut pengajian itu. Stigma tidak bisa dihindari, karena setiap anak remaja yang dilihatnya ikut pengajian itu, mereka akan merengek minta nikah.

Hadits yang berbunyi, “Berbicaralah kepada manusia menurut pengetahuan mereka.” (HR Ad-Dialami, Bukhori) Memang mengindikasikan  ada levelisasi pada kemampuan manusia dalam menangkap suatu retorika dan materi pembicaraan. Seperti tidak mungkin kita memberi pelajaran kalkulus pada anak SD, atau ushul fiqh pada anak yang baru belajar membaca Qur’an, materi yang mengandung provokasi untuk segera menikah rasanya terlalu dini diberikan pada anak remaja usia SMP atau SMA yang baru belajar Islam.

Memang tidak jarang seorang mentor menjawab pertanyaan, “Kak, kalau kita gak boleh pacaran, terus gimana kalo kita suka sama seseorang?”, dengan jawaban, “Islam tidak mengenal pacaran. Kalau kita suka sama seseorang, kita miliki dengan jalan yang halal, yaitu pernikahan.” Tentu seorang anak remaja puber yang mabuk kepayang dengan lawan jenis, dan pada saat yang sama ia mulai merasakan tentramnya hidup dalam jalan Islam, akan “kebelet” nikah agar cintanya berlabuh dengan indah dan halal. Dan kalau seperti ini, yang kaget adalah orang tua si anak.

Jawaban tadi tidak salah. Tapi kalau mau memberikan jawaban polos itu, lihat-lihtlah kondisi psikologis si remaja. Kalau misalnya diberikan jawaban, “Jodoh nggak kemana. Kehidupan kita telah diatur oleh Allah sebelum kita lahir di kitab Lauhul Mahfuzh. Sekarang kamu konsentrasi aja dulu belajar yang serius sampe lulus SMA dan lulus kuliah dan bekerja, fokus membentuk kepribadian yang muslim, dan membuat orang tua ridho. Perkuat cinta kamu kepada Allah karena cuma Dia yang berhak dicintai. Kalau Allah kehendaki, di saat kamu sudah siap berumah tangga, kamu akan menikah dengan dia.” Ya memang jawabannya panjang lebar. Dan tekankan agar anak itu melakukan hal-hal yang positif di usianya. Kalau belum apa-apa sudah diprovokasi menikah, konsentrasi belajarnya bisa buyar. Sayang kalau dakwah ini dipenuhi oleh remaja-remaja kebelet nikah dan melupakan prioritasnya di usianya.

Idealnya memang saat seorang anak sudah baligh, maka itulah saat yang tepat untuk menikah. Tapi dengan sistem pendidikan di negara ini, rasanya hal tersebut susah. Usia hingga SMA adalah usia wajib belajar. Sistem pendidikannya masih menerapkan disiplin yang ketat. Seragam hingga absensi diatur dengan ketat. Agak susah kalau anak usia SMA harus membagi perhatiannya antara belajar dengan mencari nafkah atau mengasuh anak. Beda dengan anak kuliahan yang sistem belajar di kampusnya tidak begitu ketat seperti SMP/SMA. Ada banyak cerita anak kuliahan yang sudah menikah.

Tapi walau masa kuliahan sudah lepas dari pendidikan penuh disiplin dan ketat, tetap saja seorang “pengompor” harus hati-hati memprovokasi anak kuliahan. Karena tidak semua orang punya kemampuan membagi waktu antara menikah dan belajar. Banyak kasus mahasiswa yang menikah namun kuliahnya berantakan. Kondisi tiap orang berbeda. Perhatikan prioritas dan potensi seseorang. Jangan sampai seorang kader dakwah yang punya potensi besar menjadi ahli di bidang tertentu, potensinya tenggelam karena terprovokasi untuk menikah dan kuliahnya jadi berantakan karena sibuk mencari uang dan gagal mengatur waktu.

Sebuah cerita lain, Seno adalah kader dakwah yang baru saja lulus kuliah dan baru saja diterima bekerja. Selama ini kuliahnya dibiayai oleh orang tuanya dan kakaknya. Orang tuanya pensiunan PNS berpangkat rendah dan hidupnya dibantu dengan pemberian anaknya yang sudah mapan. Gaji PNS-nya tidak memadai untuk kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari Seno mengutarakan keinginannya untuk menikah kepada orang tuanya. Orang tuanya kaget dan pusing tujuh keliling. Tidak ada tabungan untuk membiayai pernikahan Seno. Bahkan Seno sendiri tidak punya apa-apa untuk hidup berumah tangga. Tidak punya kasur, lemari, perabotan, bahkan tabungan. Ia mengandalkan gaji barunya yang sebenarnya jauh dari cukup untuk menghidupi dua orang. Seno berkilah bahwa calon istrinya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri. Orang tuanya bingung, bukankah menafkahi itu tugas suami. Orang tuanya berfikir apakah di pengajian Seno tidak diajarkan bahwa suami berkewajiban menafkahi istri?

Rupanya Seno mendapat “kompor” dari guru ngajinya, yang dulu menikah dalam kondisi serba tidak berkecukupan. “Ana aja bisa, tidur dengan kasur busa kecil, tinggal di petakan sempit. Makan kadang cuma pake tempe.” Semakin bingung orang tuanya, ini pengajian macam apa. Dan kakaknya marah-marah karena orang tuanya belum lagi menikmati gaji Seno, tapi Seno malah sudah buru-buru menghidupi orang lain. “Mana bakti kamu?” Tanya kakaknya. Itu baru kesiapan finansial yang nihil dimiliki Seno. Kesiapan ilmu? Seno sendiri baru beberapa bulan ikut pengajian.

Memang harus hati-hati memprovokasi seseorang untuk menikah. Kasus Seno akan menjadi kontraproduktif bagi dakwah. Kasusnya akan terdengar oleh keluarga besar, dan akan menimbulkan antipati bagi dakwah. Cerita seorang sahabat yang menikah dengan cincin besi, itu tepat diberikan pada bujang yang sudah semestinya menikah tapi takut miskin. Namun untuk bujang seperti Seno, ia masih punya waktu untuk menabung mempersiapkan diri menikah sehingga tidak perlu membuat pusing orang tuanya, atau malah mengandalkan hidup dari istrinya (walau istrinya rela). Ia sudah punya semangat menikah, tinggal dimenej dan diarahkan untuk persiapan yang cukup. Ayat “Kalau kamu miskin Allah akan mengkayakan kamu,” (QS An-Nur : 32) bukan berarti tergesa menikah dengan persiapan yang sangat minim, padahal kalau mau bersabar menunggu persiapan itu akan terpenuhi.

Kebanyakan orang tua kader dakwah adalah orang umum dan tidak punya latar belakang dunia dakwah. Mereka punya logika sendiri dalam menilai anaknya apakah sudah harus menikah atau belum. Remaja yang terjejal cerita idealis tentang orang yang sukses menikah dini, biasanya mendapat resistensi dari orang tuanya yang menilai bahwa usia menikah adalah usia di mana sang anak punya penghasilan yang mapan. Benturan ini bisa membuat buruk citra dakwah atau suatu pengajian.

Seorang pengompor tidak boleh lepas dari menjelaskan apa itu persiapan menikah, bila memprovokasi orang untuk menikah. Jangan menjelaskan yang manis-manis saja tentang pernikahan. Provokasi yang tepat sasaran adalah pada bujang yang punya persiapan namun punya keraguan untuk menikah, bukan pada remaja tanggung yang persiapannya nihil dan masih jauh namun rentan tergoda untuk tergesa menikah.

muslimmuda

Kamis, 09 Mei 2013

Kenapa Piagam Ini Lahir?(Bagian Ketiga)


Oleh: DR. Muhammad Imarah 

Istilah "Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual"

Jika Islam telah mengatur kenikmatan seksual, sebagai cara untuk menjaga kehormatan, kesucian, dan reproduksi, melalui "legal seksual" atau pernikahan yang sah. Tapi dokumen Konferensi kependudukan itu menjadi sesuatu yang berstatus "aman seksual" dalam arti tidak mengundang penyakit, dengan melepaskan semua peraturan syariat. Seks disebutkan sebagai salah satu hak dari hak tubuh sebagaimana makanan dan minum yang mubah atau dibolehkan bagi semua orang, bukan hanya kepada  pasangan suami isteri, bisa dilakukan lintas usia, termasuk kalangan remaja.

Istilah "Kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual", yang berulangkali disebutkan dalam dokumen Konferensi Kependudukan itu, adalah kondisi  "kemapanana fisik, akal, sosial" yang otomatis menjadikan setiap individu (bukan hanya pasangan suami isteri) mampu menikmati kehidupan seksual yang disukai dan dianggap aman. Kenikmatan seksual dan kesehatan reproduksi dipandang sebagai kebutuhan gizi dan merupakan hak perempuan  baik anak-anak maupun dewasa.

Jika Islam mewajibkan sebuah akad nikah, yang menjadi landasan dalam sebuah keluarga, dan disifatkan sebagai "ikatan yang sangat kuat" (al Mitsaaq al ghaliizh), yang dilandasi oleh nilai kasih sayang, ketenangan jiwa dan sebagaimana firman Allah Swt:

"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An Nisaa'a:21)

"dan di antara kekuasaan-Nya  ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. Ar Ruum: 21)

Akan tetapi dokumen Konferensi Kependudukan itu mmembangun sebuah "hubungan" yang disebut sebagai "keluarga" hanya dengan pertemuan sukarela yang didasarkan atas "keserbabolehan dan permisifisme". Karenanya, ia akan melucuti semua hubungan yang bersifat legal secara syariat. Bahakan seluruh pasal dan ayat dalam dokumen itu sama sekali tidak menyebut kata-kata "Allah" dan "agama".

Jika Islam menganjurkan perkawinan dini untuk membentengi remaja laki-laki dan perempuan serta kehormatan mereka, maka dokumen dari Konferensi Kependudukan itu justru mengharamkan dan mengkriminalisasi pernikahan dini, lalu menggantikannya dengan banyak alternatif termasuk perzinahan dini. Dokumen itu menyerukan " Pemerintah agar menaikkan usia minimum perkawinan karena hal itu dianggap sangat penting…. Apalagi dengan memberi alternatif yang bisa menyebabkan tidak adanya pernikahan dini…" (1)

Artinya mereka menyerukan "pembatasan yang halal" menjadi "membebaskan yang haram" karena telah menjadikan seks sebagai hak tubuh bagi mereka yang semua pelaku seksual di segala usia, semua individu dan beragam bentuk hubungan dalam persoalan seks.

(1) draft Program Konferensi Internasional tentang kependudukan dan Pembangunan Bab IV, ayat 21

Rabu, 08 Mei 2013

Kenapa Piagam Ini Lahir? (Bagian Kedua)

Oleh Dr. Muhammad Imarah



Peran PBB dalam memperkuat Serangan Pemikiran Barat

Invasi pemikiran Barat yang sudah diluncurkan sejak dua dekade terakhir merumuskan sistem nilai yang disebut Modernisme dan Postmodernisme. Hal itu lalu diterapkan dalam bentuk berbagai piagam dan kesepakatan yang berkarakter globalisasi melalui kedok PBB dan organisasi-organisasi yang berafiliasi kepadanya, sehingga bertabrakan dengan semua nilai-nilai agama dan menggeser sistem nilai-nilai Islam, khususnya di bidang keluarga.

Kekuatan hegemoni Barat kontemporer di bidang politik menyuarakan "kekacauan konstruktif" untuk memecah belah masyarakat Islam dan mengacau kesatuan umat Islam. Mereka menyerang standar garis etnik, aspek bahasa, aliran pemikiran dan kelompok. Mereka ingin menjarah kakayaan umat Islam dengan mencegah dukungan, solidaritas dan kesatuan umat Islam terkait jihad kemerdekaan. Serangan Barat ini juga menyerang benteng keluarga Islam dalam "pertempuran krusial" hingga memunculkan kekacauan di dunia keluarga, akibat perpecahan di dalam tubuhnya dan kerapuhan tonggak-tonggaknya. Bila keluarga sudah rapuh dan hancur, berarti umat Islam akan mudah dipecahkan.

Rumusan dokumen yang dibuat Barat memuat nilai modernitas dan postmodernisme, lalu dipaksakan terhadap satu budaya non Barat melalui payung PBB. Mereka melakukan agar isi rumusan itu, bab, pasal dan ayatnya menghancurkan sistem nilai dan akhlak keluarga Islam.

Draft program aksi Konferensi Internasional tentang kependudukan dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo (5-15 September 1994) adalah contoh "deklarasi perang" terhadap keluarga yang ingin di bangun oleh Islam. Jika Islam yang berdasarkan fitrah manusia telah membangun hubungan keluargayang legal dan legitimated antara pria dan wanita, untuk mewujudkan - dengan diferensiasi dan integrasi ini - kebahagiaan manusia, untuk mewujudkan - dengan reproduksi dan berketurunan - kelangsungan hidup umat manusia,  dan untuk menjadikan keluarga ini sebagai batu bata pertama dalam pembentukan pembangunan bangsa/ umat. Maka, dokumen konfererensi kependudukan itu - secara eksplisit menyatakan perang terhadap makna kemanusiaan terhadap keluarga. Dalam konferensi itu diserukan "perubahan struktur keluarga" dengan anggapan bahwa perubahan itu merupakan "area penting bagi semua pemerintahan, organisasi pemerintah, organisasi non pemerintah, lembaga donor, lembaga penelitian". Semua lembaga itu diajak untuk memberika prioritas kepada penelitian mengubah struktur keluarga.

Itu dilakukan agar keluarga yang sah tidak hanya hubungan legal antara laki-laki dan seorang perempuan, namum juga mencakup pada semua jenis hubungan termasuk antara laki-laki dengan laki-laki, atau antara perempuan dengan perempuan. Tak hanya itu, dalam rumusan Konferensi Kependudukan itu juga memasukkan sebuah revolusi besar terhadap struktur keluarga, berbagai hubungan yang temasuk dalam wilayah menyimpang dan diharamkan secara syariat dan fitrah, sehingga masuk dalam wilayah keluarga dan diakui, dilindungi dan diatur dalam undang-undang tentang hak-hak manusia. 

Bersambung.....