Langsung ke konten utama

Kenapa Piagam Ini Lahir?(Bagian Ketiga)


Oleh: DR. Muhammad Imarah 

Istilah "Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual"

Jika Islam telah mengatur kenikmatan seksual, sebagai cara untuk menjaga kehormatan, kesucian, dan reproduksi, melalui "legal seksual" atau pernikahan yang sah. Tapi dokumen Konferensi kependudukan itu menjadi sesuatu yang berstatus "aman seksual" dalam arti tidak mengundang penyakit, dengan melepaskan semua peraturan syariat. Seks disebutkan sebagai salah satu hak dari hak tubuh sebagaimana makanan dan minum yang mubah atau dibolehkan bagi semua orang, bukan hanya kepada  pasangan suami isteri, bisa dilakukan lintas usia, termasuk kalangan remaja.

Istilah "Kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual", yang berulangkali disebutkan dalam dokumen Konferensi Kependudukan itu, adalah kondisi  "kemapanana fisik, akal, sosial" yang otomatis menjadikan setiap individu (bukan hanya pasangan suami isteri) mampu menikmati kehidupan seksual yang disukai dan dianggap aman. Kenikmatan seksual dan kesehatan reproduksi dipandang sebagai kebutuhan gizi dan merupakan hak perempuan  baik anak-anak maupun dewasa.

Jika Islam mewajibkan sebuah akad nikah, yang menjadi landasan dalam sebuah keluarga, dan disifatkan sebagai "ikatan yang sangat kuat" (al Mitsaaq al ghaliizh), yang dilandasi oleh nilai kasih sayang, ketenangan jiwa dan sebagaimana firman Allah Swt:

"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An Nisaa'a:21)

"dan di antara kekuasaan-Nya  ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. Ar Ruum: 21)

Akan tetapi dokumen Konferensi Kependudukan itu mmembangun sebuah "hubungan" yang disebut sebagai "keluarga" hanya dengan pertemuan sukarela yang didasarkan atas "keserbabolehan dan permisifisme". Karenanya, ia akan melucuti semua hubungan yang bersifat legal secara syariat. Bahakan seluruh pasal dan ayat dalam dokumen itu sama sekali tidak menyebut kata-kata "Allah" dan "agama".

Jika Islam menganjurkan perkawinan dini untuk membentengi remaja laki-laki dan perempuan serta kehormatan mereka, maka dokumen dari Konferensi Kependudukan itu justru mengharamkan dan mengkriminalisasi pernikahan dini, lalu menggantikannya dengan banyak alternatif termasuk perzinahan dini. Dokumen itu menyerukan " Pemerintah agar menaikkan usia minimum perkawinan karena hal itu dianggap sangat penting…. Apalagi dengan memberi alternatif yang bisa menyebabkan tidak adanya pernikahan dini…" (1)

Artinya mereka menyerukan "pembatasan yang halal" menjadi "membebaskan yang haram" karena telah menjadikan seks sebagai hak tubuh bagi mereka yang semua pelaku seksual di segala usia, semua individu dan beragam bentuk hubungan dalam persoalan seks.

(1) draft Program Konferensi Internasional tentang kependudukan dan Pembangunan Bab IV, ayat 21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“CUCUKU YANG MENGAJARIKU PELAJARAN”

Ada sebuah kisah yang menarik dapat kita jadikan contoh bagaimana seorang kakek menuliskan guratan irama jiwa seorang cucunya yang dibesarkan dalam naungan tarbiyah Rabbani. DR. Mahmud Jami’ dalam bukunya yang berjudul :” Wa’raftu al-Ikhwan “ ( Ikhwanul Muslimin yang Saya Kenal terbitan Pustaka Al-Kautsar) menuliskan sebagai berikut : “CUCUKU YANG MENGAJARIKU PELAJARAN” Cucuku, Thariq Jami’ baru berusia dua belas tahun, kelas dua I’dadiyah (2SMP) dan dilahirkan di Inggris. Dia selalu bolak-balik Mesir-Inggris setiap datang musim panas untuk menghadiri muktamar-muktamar Ilmiah di luar Mesir. Pada Minggu yang lalu, dia menghadapi ujian mengarang. Judul yang disodorkan dalam soal itu adalah siswa disuruh mengungkapkan kecintaannya kepada negerinya dan keindahan negerinya. Maka dia menulis dengan mengatakan :” saya tidak mempunyai kata-kata untuk mengungkapkan keindahan negeriku. Negeri ini berada pada kondisi yang buruk. Setiap kali saya berusaha untuk merasakan keindahannya, sa...

5 Cara Mempersempit Jurang Digital Antara Anak dan Orang Tua

Jelas ada jurang atau kesenjangan digital antara kita (orang tua/guru) dan anak. Anak-anak kita adalah digital native, lahir ketika teknologi computer dan internet sudah ada. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak lepas dari teknologi tersebut. Kita sendiri adalah generasi yang menikmati teknologi saat kita telah dewasa, bahkan berumur. Karena itu, layaknya “pendatang”, kita “ digital immigrant” pasti membutuhkan penyesuaian dengan lingkungan baru.  Bagaimana cara memperkecil kesenjangan tersebut? Tidak bias tidak, kita perlu memahami karakteristik digital native. Pemahaman mengenai karakteristik ini akan membantu kita untuk menghadapai tantangan-tantangan berikut:

Kemuliaan Ibu dalam Kosa Kata Al Qur’an[1]

Kemuliaan Ibu dalam Kosa Kata Al Qur’an [1] Sulthan Hadi   “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-Bapaknya (al walidain; ibunya (al umm) yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (QS. Luqman: 14) Ibu, dialah sumber kasih sayang; mengasuh dan memberi tanpa batas. Dialah prajurit malam yang selalu berjaga dan terjaga. Menemani ketidakberdayaan kita. Dia selalu mendahulukan anaknya dari dirinya sendiri, mencintai tanpa menuntut balas. Ibu, sebuah kata yang jujur nan kuat, diucapkan semua makhluk hidup dalam bahasanya masing-masing. Dengan kata ‘ibu’ para makhluk itu mendapatkan kasih sayang, ketulusan hati, kehangatan, pengorbanan, cinta yang agung, yang dicipta dan ditumbuhkan Allah dalam  diri semua  ibu terhadap anak-anaknya. Karena itu, Allah swt berwasiat kepada manusia untuk taat kepadanya, seperti juga Rasul-Nya telah berpesan agar kita senantiasa berbakti kepadanya.